Dalam terminologi fiqih, akad diartikan sebagai pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan (Haroen, 2000). Jadi, akad adalah kontrak yang mengikat antara dua belah pihak dimana masing-masing pihak sepakat untuk melaksanakan kewajibannya sesuai syariah Islam.
Suatu akad disebut sah secara syariah apabila memenuhi rukun akad yaitu adanya obyek akad (al-ma'qud 'alaih), pihak yang melakukan akad (al-muta'aqidain) dan pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-'aqd). Apabila salah satunya tidak ada atau ditinggalkan, maka akad tersebut menjadi tidak sah.
Dilihat dari ada-tidaknya kompensasi, akad dibagi menjadi dua yaitu akad tabarru' dan akad tijarah. Akad tabarru' adalah akad yang semata-mata dilakukan untuk tolong-menolong dan tidak memiliki orientasi keuntungan finansial (non-profit oriented) sedangkan akad tijarah adalah transaksi bisnis murni yang berorientasi pada keuntungan finansial (profit oriented).
1 AKAD TABARRU'
Akad ini dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lain semata-mata untuk tujuan menolong. Pinjaman atau pemberian yang dilakukan bukanlah sebuah transaksi yang berorientasi pada keuntungan. Ia juga tidak boleh mengambil sedikit pun keuntungan dari akad tabarru' tersebut. Kendati demikian, ia dibolehkan meminta sedikit bagian sekedar untuk mengganti biaya yang dikeluarkan untuk dapat melakukan akad tersebut.
Pada dasarnya, akad tabarru' ini adalah memberikan sesuatu atau meminjamkan sesuatu (Adiwarman A.Karim, 2004). Memberikan sesuatu berarti ada pihak yang memberikan sesuatu kepada pihak lain dalam bentuk hibah, shadaqah, waqf, dan lain-lain. Meminjamkan sesuatu berupa uang dapat berupa akad qardh, hiwalah dan rahn sedangkan meminjamkan sesuatu berupa jasa dapat berupa akad wakalah, kafalah dan wadi'ah.
1.1 Meminjamkan Jasa
1.1.1 Wakalah
Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Orang yang diberi mandat atau amanat tersebut kemudian akan melakukan tugasnya atas nama si pemberi mandat.
Islam mensyariatkan wakalah karena tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan segala macam urusannya sendiri sehingga ia bisa mendelegasikannya kepada orang lain, misalnya dalam hal penagihan.
Sebagai contoh, Fulan mendapatkan beasiswa untuk studi master di Jepang. Agar tidak terganggu dengan segala macam kewajiban di tanah air yang harus diselesaikan selama masa studi, ia memberikan kuasa kepada Nasrudin untuk mengurus kewajiban membayar pajak rumah, tagihan kredit rumah, dan sebagainya.
Di bank syariah, praktek wakalah bisa diwujudkan misalnya dalam manajemen jasa bank seperti shipping guarantee (jaminan yang diberikan bank kepada pemilik kapal atau agen pemilik kapal agar importir dapat mengambil barang), Islamic Will (surat wasiat), Islamic Trust (pemindahan aset milik orang yang sudah meninggal dunia kepada orang lain), dan sebagainya.
Batasan pemberian kuasa tersebut juga berbeda karena ada beberapa jenis wakalah yaitu al-wakalah al-Muthlaqah, al-wakalah al-Muqayyadah dan al-wakalah al-Amamah.
Dalam al-wakalah al-muthlaqah, kuasa diberikan secara mutlak untuk segala macam urusan dan tanpa batas waktu (kuasa luas). Kuasa dalam al-wakalah al-Muqayyadah lebih sempit karena pemberian kuasa hanya dilakukan dalam urusan tertentu saja (kuasa khusus), misalnya kuasa untuk menjual barang gadai dalam akad rahn. Kuasa dalam al-wakalah al-Muqayyadah banyak digunakan dalam pemberian kuasa dalam persoalan sehari-hari dan sering digunakan sebagai pelengkap transaksi suatu akad.
Rukun Wakalah :
- Pemberi kuasa (muwakkil)
- Penerima kuasa (wakil)
- Obyek yang dikuasakan (taukil)
- Ijab qabul (sighat)
Syarat-syarat muwakkil atau yang mewakilkan adalah :
- Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
- Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.
Syarat-syarat wakil atau yang mewakili :
- Cakap hukum.
- Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
Dalam wakalah, hal-hal yang diwakilkan harus diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, tidak bertentangan dengan syariah dan dapat diwakilkan menurut syariah.
Landasan Syariah Wakalah
|
1.1.2Kafalah
Dalam rangka menjalankan usaha, seseorang sering memerlukan penjaminan dari pihak lain melalui akad kafalah, yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul 'anhu, ashil).
Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak. Contoh penggunaan akad kafalah dalam transaksi syariah adalah personal guarantee.
Obyek penjaminan (Makful Bihi) dalam kafalah merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan yang harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya serta tidak bertentangan dengan syariah. Selain harus bisa dilaksanakan oleh penjamin, obyek penjaminan juga harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
Pihak penjamin (Kafiil) haruslah orang yang baligh, berakal sehat dan berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut. Bagi orang yang berutang (Ashiil, Makfuul 'anhu), ia harus sanggup menyerahkan tanggungannya kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin, sedangkan pihak orang yang berpiutang (Makfuul Lahu) harus diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa dan berakal sehat.
Landasan Syariah Kafalah
|
1.1.3. Wadi'ah
Wadi'ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lainnya baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki (M.Syafi'i Antonio, 2001).
Pada prakteknya, akad wadi'ah dibedakan menjadi dua yaitu wadi'ah yad adh-dhamanah dan wadi'ah yad al-amanah. Wadi'ah yad adh-dhamanah adalah akad penitipan barang atau uang dimana penerima titipan bisa memanfaatkan barang atau uang titipan tersebut dengan atau tanpa ijin si penitip. Apabila terdapat keuntungan dari pemanfaatan barang atau titipan tersebut akan menjadi hak penerima titipan. Meski begitu, penerima titipan wajib bertanggung jawab terhadap risiko kerusakan atau kehilangan.
Wadi'ah yad al-amanah adalah akad titipan barang atau uang dimana penerima titipan tidak bisa memanfaatkan titipan tersebut. Apabila terjadi kerusakan atau kehilangan, penerima titipan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban sejauh bukan karena perbuatan atau kelalaiannya.
Landasan Syariah Wadi'ah
|
1.2 Meminjamkan Uang
1.2.1 Rahn
Rahn adalah menahan salah satu barang milik peminjam sebagai jaminan atas utang. Agar pemberi pinjaman bisa medapatkan kembali sebagian atau seluruh piutangnya, maka barang yang ditahan harus memiliki nilai ekonomis.
Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin karena pada prinsipnya Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin -- kecuali atas seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin (meski dapat juga dilakukan juga oleh Murtahin) sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
Saat jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin agar segera melunasi utangnya. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun akan dijual paksa atau dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. Hasil penjualan Marhun kemudian akan digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya juga menjadi kewajiban Rahin.
Rukun Rahn :
- Pihak penggadai (raahin)
- Pihak penerima gadai (murtahin)
- Obyek yang digadaikan (marhun)
- Hutang (marhun bih)
- Ijab qabul (sighat)
Landasan Syariah Rahn
|
1.2.2. Qardh
Qardh adalah akad pinjaman harta kepada orang lain (yang dapat ditagih atau diminta kembali) dengan tanpa mengharapkan imbalan.
Sifat qardh yang tidak memberi keuntungan secara finansial (zero-return) namun didasari niat untuk membantu pihak yang membutuhkan (muqtaridh) sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan qardh, peminjam hanya memiliki kewajiban mengembalikan sejumlah pokoknya saja -- meski ia boleh saja memberikan kelebihan secara ikhlas sebagai tanda terima kasih.
Apabila sampai saat pengembalian peminjam tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan pemberi pinjaman telah memastikan ketidakmampuannya, maka pemberi pinjaman dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Rukun Qardh :
- Pihak peminjam (muqtaridh)
- Pihak pemberi pinjaman (muqridh)
- Dana (qardh)
- Ijab qabul (sighat)
Landasan Syariah Qardh
|
1.2.3. Hawalah
Hawalah akad pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya. Akad perpindahan utang ini ini dibolehkan berdasarkan sunnah dan ijma. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, maka pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal 'alaih dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal 'alaih.
Berdasarkan ijma, hawalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang. Sebagai misal, Tuan A (muhal atau muhtal) memberi pinjaman kepada Tuan B (muhil) dan pada saat itu B masih memiliki piutang di Tuan C (muhal 'alaih). Tuan C sebagai muhal 'alaih yang dianggap mampu wajib membayar utang Tuan B kepada Tuan A apabila Tuan B mengalihkan utang tersebut kepada Tuan C.
Dalam pelaksanaannya, hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/ muhtal, dan muhal 'alaih dimana pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan akad. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern dimana kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
Rukun Hawalah :
- Pihak yang berutang (muhil)
- Pihak yang berpiutang (muhal)
- Pihak yang berutang kepada muhil dan akan membayar utang muhil kepada muhal (muhal 'alaih)
- Utang muhil kepada muhal (muhal bih)
- Utang muhal 'alaih kepada muhil
- Ijab qabul (sighat)
LANDASAN SYARIAH HAWALAH
|
2 AKAD TIJARAH
Berbeda dengan akad tabarru' yang semata-mata dilakukan untuk tujuan menolong, akad tijarah adalah akad yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan finansial (profit oriented) dengan tetap berpegang pada prinsip syariah.
Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad ini terdiri dari dua kelompok besar yaitu natural certainty contract dan natural uncertainty conttract (Adiwarman A.Karim, 2004). Natural certainty contract (NCC) adalah kontrak atau akad bisnis dimana terdapat kepastian pembayaran baik dalam jumlah maupun waktu. Dalam akad ini terjadi pertukaran aset antara pihak yang bertransaksi yang dapat berupa real asset ('ayn) barang dan jasa atau berupa financial asset (dayn). Akad yang termasuk dalam NCC adalah jual-beli, sewa menyewa dan upah-mengupah.
Natural uncertainty contract (NUC) adalah kontrak atau akad bisnis dimana tidak terdapat kepastian pembayaran baik dalam jumlah maupun waktu. Berbeda dengan NCC yang hanya terjadi pertukaran, pihak-pihak yang terlibat kontrak NUC saling memadukan real asset ('ayn) maupun financial asset (dayn) dimana keuntungan atau kerugian akan dinikmati atau ditanggung bersama. Akad yang termasuk dalam NUC adalah akad bagi hasil seperti musyarakah, mukharabah, musaqah dan muzara'ah. 2.1 Jual Beli
2.1.1 Salam
Salam adalah pembelian barang yang dilakukan dengan pembayaran di depan namun penyerahan barang tersebut dilakukan di kemudian hari. Transaksi jual beli salam sah apabila objek jual beli diketahui dengan detail jenis, karakteristik, harga, jumlah, tata cara pembayaran dan tempat penyerahan.
Dengan salam, pihak pembeli (al-muslam) akan mendapatkan barang pada saat diperlukan nanti dengan harga yang sudah ditetapkan dan pihak penjual (muslam ilaih) mendapatkan dana di depan yang digunakan untuk mengadakan barang yang dijual.
- Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
- Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
- Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga atau diskon.
- Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
- Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan yaitu membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya atau menunggu sampai barang tersedia.
Salam dilakukan dengan sejumlah rukun yaitu adanya pembeli, penjual, modal atau uang, barang dan ucapan. Ketentuan dalam salam tentang modal atau uang adalah bahwa alat pembayaran harus diketahui jumlah dan bentuknya -- baik berupa uang, barang, atau manfaat. Selain itu, pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati dan tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Sedangkan tentang barang, salam mensyaratkan beberapa hal yaitu harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang, harus dapat dijelaskan spesifikasinya, penyerahannya dilakukan kemudian, waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan, pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya dan tidak boleh menukar barang -- kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Salam = Ijon ?
Dari definisi dan pengertian salam, sepintas terlihat bahwa salam sama dengan ijon. Namun sebenarnya, jelas terdapat perbedaan antara salam dengan ijon. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Harga beli juga sangat bergantung pada keputusan sepihak pihak tengkulak (Muhammad Syafi'I Antonio, 2001).
Salam berbeda karena ada kejelasan pengukuran dan spesifikasi barang. Selain itu, terdapat keridhaan antara penjual dan pembeli terutama dalam kesepakatan harga seperti ditulis dalam an-Nisaa' : 29 "… kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian…"
Landasan Syariah Salam
|
2.1.2 Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang antara penjual dan pembeli dimana keduanya bersepakat soal harga perolehan dan keuntungan (marjin). Penjual membeli barang dari pihak lain dan menjualnya kepada pembeli dengan memberitahu harga pembelian dan keuntungan yang ingin diperoleh dari penjualan barang tersebut. Penjual juga dibolehkan meminta jaminan agar pembeli serius dengan barang yang ia pesan.
Sebagai misal, Haji Faiq membutuhkan sebuah mesin cetak dengan harga Rp 10 juta untuk bisnis percetakan. Dikarenakan belum memiliki modal yang cukup, ia kemudian membuat kesepakatan dengan Haji Farhan yang bersedia membelikan mesin tersebut. Atas kesepakatan keduanya, mesin tersebut kemudian dibeli Haji Farhan dari toko lalu dijual kembali kepada Haji Faiq dengan harga Rp 11 juta yang akan dibayar dengan cara mencicil Rp 1 juta sebanyak 11x.
Akad ini mengandalkan keterbukaan dan kejujuran karena penjual harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada pembeli berikut besar keuntungan yang ingin diperoleh penjual. Pembeli juga tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya apabila ia memiliki kemampuan untuk membayar. Namun jika pembeli bangkrut atau telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, maka penjual harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali atau berdasarkan kesepakatan.
Tidak semua barang bisa dilakukan dengan akan murabahah. Selain pembeli dan penjual harus melakukan akad murabahah yang bebas riba, barang yang diperjualbelikan juga tidak diharamkan oleh syariah Islam.
LANDASAN SYARIAH MURABAHAH
|
2.1.3. Istishna'
Istishna' adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni') dan penjual atau pembuat (shani'). Akad jenis ini biasanya digunakan di bidang manufaktur misalnya untuk membiayai pabrik pesawat terbang, konstruksi, instalasi peralatan pabrik dan sebagainya.
Dalam akad ini, alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. Selain itu, pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Pada saat penyerahan (yang akan dilakukan di waktu yang akan datang), waktu dan tempatnya harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Apabila terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Pada dasarnya, antara istishna' dan murabahah terdapat kesamaan karena sama-sama transaksi jual beli. Bedanya, dalam murabahah barang diserahkan di depan sedangkan dalam istishna' barang diserahkan di belakang. Sedangkan perbedaan mendasar antara istishna' dengan salam adalah istishna' tidak mensyaratkan pembayaran penuh namun cukup pembayaran uang muka.
Dalam akad bai' al-istishna', pembeli bisa memperbolehkan pembuat untuk menggunakan pihak lain atau subkontraktor kontrak tersebut. Dengan begitu, pembuat akan membuat kontrak istishna' kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama yang disebut dengan istishna' paralel.
LANDASAN SYARIAH ISTISHNA'
|
2.2. Sewa
2.2.1 Ijarah
Ijarah adalah akad sewa menyewa dimana terjadi pemindahan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa tanpa disertai dengan pemindahan hak kepemilikan.
Tidak adanya pemindahan hak kepemilikan berarti hanya ada perpindahan hak guna dari pihak yang menyewakan kepada pihak penyewa. Obyek ijarah berupa barang misalnya rumah, gedung, mobil, ruko, dan obyek berupa jasa misalnya konsultan proyek dan tenaga pengajar.
Dalam akad ini, manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak serta harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan). Manfaat harus dikenali secara spesifik untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa. Selain itu, spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas termasuk jangka waktunya.
Kewajiban pemberi manfaat barang atau jasa adalah menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan, menanggung biaya pemeliharaan barang dan menjamin apabila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
Kewajiban penerima manfaat atau penyewa barang atau jasa adalah membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak dan menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan atau tidak materiil. Apabila barang yang disewa rusak namun bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan atau bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, penyewa tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Rukun Ijarah :
- Penyewa (musta'jir)
- Pemberi sewa (mu'ajir)
- Obyek sewa (ma'jur)
- Ijab qabul (sighat)
LANDASAN SYARIAH IJARAH
|
2.2.2 Ijarah Al-Muntahia bit-Tamlik
"Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. al-Zukhruf [43]: 32)
Ijarah Al-Muntahia bit-Tamlik adalah ijarah yang diakhiri dengan peralihan kepemilikan di akhir masa sewa. Peralihan kepemilikan dapat dilakukan dengan cara menghibahkan dari pemberi sewa kepada penyewa atau dengan cara menjual barang tersebut di akhir periode sewa.
2.3 Bagi Hasil
2.3.1 Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama dengan skema profit sharing, trust investment atau trust financing antara pemilik modal (sahib al-mal, malik atau rab al-mal) dengan pengusaha (mudharib, 'amil) dimana pemilik modal menyerahkan modalnya untuk dikelola oleh pengusaha. Pengelolaan bisnis sepenuhnya akan dilakukan oleh mudharib dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Meski begitu, tidak ada jaminan atau kepastian bahwa sahib al-mal akan mendapatkan keuntungan.
Apabila terdapat keuntungan, mudharib dan sahib al-mal akan berbagi keuntungan (dalam bentuk prosentase atau nisbah dari keuntungan) sesuai dengan rasio yang sudah disepakati sebelumnya. Namun apabila terjadi kerugian, sahib al-mal akan menanggung kerugian tersebut secara pribadi (kecuali kerugian tersebut diakibatkan oleh kelalaian atau moral hazard yang dilakukan mudharib). Kerugian akan dibebankan terhadap keuntungan yang sudah diperoleh sebelum dibebankan terhadap modal yang dimiliki sahib al-mal. Ini berarti, sahib al-mal tidak akan mengalami kerugian melebihi jumlah modalnya.
Kegiatan usaha yang dilakukan mudharib adalah hak eksklusif mudharib tanpa campur tangan sahib al- mal meski sahib al mal mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. Sahib al-mal juga tidak boleh mempersempit tindakan mudharib yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah yaitu keuntungan.
Jika begitu, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa mudharabah adalah sebuah akad yang adil ketika keuntungan akan dibagi berdua namun kerugian modal ditanggung sepenuhnya oleh sahib al-mal ? Sepintas memang benar bahwa mudharib adalah pihak yang paling diuntungkan. Namun sebenarnya, mudharib juga kehilangan waktu, tenaga dan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan atau bahkan kehilangan kepercayaan manakala bisnis tersebut mengalami kerugian.
Prinsip keadilan inilah yang membedakan mudharabah dengan akad konvensional. Pada akad konvensional, pemilik modal sudah pasti akan mendapatkan keuntungan dari modal yang sudah ia investasikan kendati si penerima modal atau pengusaha mengalami kerugian. Anda tentu pernah melihat seorang pengusaha yang bisnisnya benar-benar bangkrut namun hidupnya terus-menerus dikejar debt collector untuk membayar utang.
Mudharabah yang disebut juga dengan qiradh atau muqaradah adalah akad yang sudah dipraktekkan bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Nabi Muhammad Saw juga pernah melakukan akad mudharabah dengan Khadijah saat berprofesi sebagai pedagang.
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah mutlaqah adalah mudharabah tidak terbatas dimana sahib al mal memberikan kebebasan sepenuhnya kepada mudharib untuk menjalankan usahanya. Sebaliknya dalam mudharabah muqayyadah atau mudharabah terbatas, sahib al mal memberikan persyaratan-persyaratan tertentu kepada mudharib semisal jangka waktu, tempat bisnis, jenis usaha, industri dan sebagainya.
Akad mudharabah mensyaratkan rukun yang harus dipenuhi yaitu pelaku, objek, ijab-qabul dan nisbah keuntungan.
Pelaku dalam akad mudharabah adalah pemilik modal (sahib al-mal) dan pengusaha (mudharib) yang cakap hukum. Keduanya bersepakat untuk melakukan kerjasama dimana sahib al-mal memberikan modal (uang atau barang) dan mudharib memberikan keahlian atau pekerjaan. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat diketahui jumlah dan jenisnya, dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai (jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad) dan tidak dapat berbentuk piutang serta harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), keduanya menyatakan persetujuan atau ijab dan qabul yang dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
Apabila bisnis yang dikelola mudharib menghasilkan keuntungan, mudharib dan sahib al-mal akan berbagi keuntungan sesuai dengan rasio yang sudah disepakati sebelumnya. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.
Nisbah keuntungan dinyatakan dalam bentuk prosentase yang disepakati sahib al-mal dan mudharib, misalnya 25:75, 50:50 dan sebagainya. Yang pasti, keuntungan tersebut Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
LANDASAN SYARIAH MUDHARABAH
|
2.3.2 Musyarakah
Musyarakah adalah kerjasama atau kemitraan dimana dua orang atau lebih bersepakat untuk menggabungkan modal atau kerja dan terlibat dalam pengelolaan usaha tersebut. Modal yang diberikan harus berupa uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Apabila modal berbentuk aset, maka harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra. Modal ini tidak boleh dipinjam, dipinjamkan, disumbangkan atau dihadiahkan kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
Berbeda dengan mudharabah dimana sahib al-mal tidak terlibat dalam pengelolaan usaha, pemodal dalam musyarakah ikut aktif dalam pengelolaan keuangan dan manajerial. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah. Meski begitu, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya -- dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
Setiap keuntungan harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. Namun apabila terjadi adalah kerugian, maka kerugian itu harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
Selain cakap hukum, pihak-pihak yang berkontrak juga harus memperhatikan hal-hal berikut :
- Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
- Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
- Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
- Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
- Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
Al-musyarakah terdiri dari dua jenis yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad. Musyarakah pemilikan terjadi akibat kondisi yang membuat satu aset dimiliki oleh dua orang atau lebih seperti warisan atau wasiat. Dengan begitu, mereka akan berbagi aset dan keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Musyarakah akad terjadi akibat adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih dengan memberikan modal dan berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad ini terbagi menjadi syirkah a'maal, syirkah al-'inan, syirkah mufawadhah, syirkah wujuh dan syirkah al-mudharabah (sebagian ulama berbeda pendapat bahwa mudharabah termasuk musyarakah).
LANDASAN SYARIAH MUSYARAKAH
|