Monday, May 28, 2012

Akad-akad Syariah


Dalam terminologi fiqih, akad diartikan sebagai pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan menerima ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan (Haroen, 2000). Jadi, akad adalah kontrak yang mengikat antara dua belah pihak dimana masing-masing pihak sepakat untuk melaksanakan kewajibannya sesuai syariah Islam.
Suatu akad disebut sah secara syariah apabila memenuhi rukun akad yaitu adanya obyek akad (al-ma'qud 'alaih), pihak yang melakukan akad (al-muta'aqidain) dan pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-'aqd). Apabila salah satunya tidak ada atau ditinggalkan, maka akad tersebut menjadi tidak sah.
Dilihat dari ada-tidaknya kompensasi, akad dibagi menjadi dua yaitu akad tabarru' dan akad tijarah. Akad tabarru' adalah akad yang semata-mata dilakukan untuk tolong-menolong dan tidak memiliki orientasi keuntungan finansial (non-profit oriented) sedangkan akad tijarah adalah transaksi bisnis murni yang berorientasi pada keuntungan finansial (profit oriented). 

1 AKAD TABARRU'
Akad ini dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lain semata-mata untuk tujuan menolong. Pinjaman atau pemberian yang dilakukan bukanlah sebuah transaksi yang berorientasi pada keuntungan. Ia juga tidak boleh mengambil sedikit pun keuntungan dari akad tabarru' tersebut. Kendati demikian, ia dibolehkan meminta sedikit bagian sekedar untuk mengganti biaya yang dikeluarkan untuk dapat melakukan akad tersebut.
Pada dasarnya, akad tabarru' ini adalah memberikan sesuatu atau meminjamkan sesuatu (Adiwarman A.Karim, 2004). Memberikan sesuatu berarti ada pihak yang memberikan sesuatu kepada pihak lain dalam bentuk hibah, shadaqah, waqf, dan lain-lain. Meminjamkan sesuatu berupa uang dapat berupa akad qardh, hiwalah dan rahn sedangkan meminjamkan sesuatu berupa jasa dapat berupa akad wakalah, kafalah dan wadi'ah. 
1.1 Meminjamkan Jasa
1.1.1 Wakalah
Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan. Orang yang diberi mandat atau amanat tersebut kemudian akan melakukan tugasnya atas nama si pemberi mandat.
Islam mensyariatkan wakalah karena tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan segala macam urusannya sendiri sehingga ia bisa mendelegasikannya kepada orang lain, misalnya dalam hal penagihan.
Sebagai contoh, Fulan mendapatkan beasiswa untuk studi master di Jepang. Agar tidak terganggu dengan segala macam kewajiban di tanah air yang harus diselesaikan selama masa studi, ia memberikan kuasa kepada Nasrudin untuk mengurus kewajiban membayar pajak rumah, tagihan kredit rumah, dan sebagainya.
Di bank syariah, praktek wakalah bisa diwujudkan misalnya dalam manajemen jasa bank seperti shipping guarantee (jaminan yang diberikan bank kepada pemilik kapal atau agen pemilik kapal agar importir dapat mengambil barang), Islamic Will (surat wasiat), Islamic Trust (pemindahan aset milik orang yang sudah meninggal dunia kepada orang lain), dan sebagainya.
Batasan pemberian kuasa tersebut juga berbeda karena ada beberapa jenis wakalah yaitu al-wakalah al-Muthlaqah, al-wakalah al-Muqayyadah dan al-wakalah al-Amamah.
Dalam al-wakalah al-muthlaqah, kuasa diberikan secara mutlak untuk segala macam urusan dan tanpa batas waktu (kuasa luas). Kuasa dalam al-wakalah al-Muqayyadah lebih sempit karena pemberian kuasa hanya dilakukan dalam urusan tertentu saja (kuasa khusus), misalnya kuasa untuk menjual barang gadai dalam akad rahn. Kuasa dalam al-wakalah al-Muqayyadah banyak digunakan dalam pemberian kuasa dalam persoalan sehari-hari dan sering digunakan sebagai pelengkap transaksi suatu akad.
Rukun Wakalah :
  • Pemberi kuasa (muwakkil)
  • Penerima kuasa (wakil)
  • Obyek yang dikuasakan (taukil)
  • Ijab qabul (sighat)
Syarat-syarat muwakkil atau yang mewakilkan adalah :
  • Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
  • Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.
Syarat-syarat wakil atau yang mewakili :
  • Cakap hukum.
  • Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
Dalam wakalah, hal-hal yang diwakilkan harus diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili, tidak bertentangan dengan syariah dan dapat diwakilkan menurut syariah.
Landasan Syariah Wakalah
  • Firman Allah QS. al-Kahfi [18]: 19
    "Dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata salah seorang diantara mereka: 'Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)?' Mereka menjawab: 'Kita sudah berada (di sini) satu atau setengah hari.' Berkata (yang lain lagi): 'Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekalikali menceritakan halmu kepada seseorang pun."
  • Firman Allah dalam QS. Yusuf [12]: 55 tentang ucapan Yusuf kepada raja:
    "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman."
  • Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283
    "…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…".
  • Firman Allah QS. al-Ma'idah [5]: 2
    "Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran."
  • Hadis-hadis Nabi, antara lain:
    "Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi' dan seorang Anshar untuk mengawinkan (qabul perkawinan Nabi dengan) Maimunah r.a." (HR. Malik dalam al-Muwaththa').
    "Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW untuk menagih hutang kepada beliau dengan cara kasar, sehingga para sahabat berniat untuk "menanganinya". Beliau bersabda, 'Biarkan ia, sebab pemilik hak berhak untuk berbicara;' lalu sabdanya,'Berikanlah (bayarkanlah) kepada orang ini unta umur setahun seperti untanya (yang dihutang itu)'. Mereka menjawab, 'Kami tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua.' Rasulullah kemudian bersabda: 'Berikanlah kepada-nya. Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik di dalam membayar." (HR. Bukhari dari Abu
    Hurairah).
  • Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf
    "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
  • Ijma.
    Para ulama bersepakat dengan ijma atas dibolehkannya wakalah bahkan memandangnya sebagai sunnah, karena hal itu termasuk jenis ta'awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa, yang oleh al-Qur'an dan hadis.
  • Kaidah fiqh.
    "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."
  
1.1.2Kafalah
Dalam rangka menjalankan usaha, seseorang sering memerlukan penjaminan dari pihak lain melalui akad kafalah, yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul 'anhu, ashil).
Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak. Contoh penggunaan akad kafalah dalam transaksi syariah adalah personal guarantee.
Obyek penjaminan (Makful Bihi) dalam kafalah merupakan tanggungan pihak/orang yang berutang baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan yang harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya serta tidak bertentangan dengan syariah. Selain harus bisa dilaksanakan oleh penjamin, obyek penjaminan juga harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
Pihak penjamin (Kafiil) haruslah orang yang baligh, berakal sehat dan berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut. Bagi orang yang berutang (Ashiil, Makfuul 'anhu), ia harus sanggup menyerahkan tanggungannya kepada penjamin dan dikenal oleh penjamin, sedangkan pihak orang yang berpiutang (Makfuul Lahu) harus diketahui identitasnya, dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa dan berakal sehat.
Landasan Syariah Kafalah
  • Firman Allah dalam QS. Yusuf [12]: 72
    "Penyeru-penyeru itu berseru: 'Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya."
  • Firman Allah QS. al-Ma'idah [5]: 2
    "Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran."
  • Hadis Nabi riwayat Bukhari:
    "Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah saw bertanya, 'Apakah ia mempunyai utang?' Sahabat menjawab, 'Tidak'. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, 'Apakah ia mempunyai utang?' Sahabat menjawab, 'Ya'. Rasulullah berkata, 'Salatkanlah temanmu itu' (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, 'Saya menjamin utangnya, yaRasulullah'. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut." (HR. Bukhari dari Salamah bin Akwa').
  • Sabda Rasulullah SAW
    "Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya."
  • Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf
    "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
  • Kaidah fiqh
    "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."
    "Bahaya (beban berat) harus dihilangkan."

1.1.3. Wadi'ah
Wadi'ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lainnya baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki (M.Syafi'i Antonio, 2001).
Pada prakteknya, akad wadi'ah dibedakan menjadi dua yaitu wadi'ah yad adh-dhamanah dan wadi'ah yad al-amanah. Wadi'ah yad adh-dhamanah adalah akad penitipan barang atau uang dimana penerima titipan bisa memanfaatkan barang atau uang titipan tersebut dengan atau tanpa ijin si penitip. Apabila terdapat keuntungan dari pemanfaatan barang atau titipan tersebut akan menjadi hak penerima titipan. Meski begitu, penerima titipan wajib bertanggung jawab terhadap risiko kerusakan atau kehilangan.
Wadi'ah yad al-amanah adalah akad titipan barang atau uang dimana penerima titipan tidak bisa memanfaatkan titipan tersebut. Apabila terjadi kerusakan atau kehilangan, penerima titipan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban sejauh bukan karena perbuatan atau kelalaiannya.

 
Landasan Syariah Wadi'ah
  • Firman Allah QS. An-Nisaa' : 58
    "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya…"
  • Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283
    "…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…".
  • Hadis Nabi riwayat Thabrani
    Ibnu Umar berkata bahwasanya Rasulullah telah bersabda,"Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci."
  • Ijma
    Para tokoh ulama Islam telah melakukan ijma terhadap legitimasi al-wadi'ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat.

1.2 Meminjamkan Uang
1.2.1 Rahn
Rahn adalah menahan salah satu barang milik peminjam sebagai jaminan atas utang. Agar pemberi pinjaman bisa medapatkan kembali sebagian atau seluruh piutangnya, maka barang yang ditahan harus memiliki nilai ekonomis.
Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin karena pada prinsipnya Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin -- kecuali atas seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin (meski dapat juga dilakukan juga oleh Murtahin) sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
Saat jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin agar segera melunasi utangnya. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun akan dijual paksa atau dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. Hasil penjualan Marhun kemudian akan digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya juga menjadi kewajiban Rahin.
Rukun Rahn :
  • Pihak penggadai (raahin)
  • Pihak penerima gadai (murtahin)
  • Obyek yang digadaikan (marhun)
  • Hutang (marhun bih)
  • Ijab qabul (sighat)
Landasan Syariah Rahn
  • Firman Allah, QS. Al-Baqarah [2]: 283:
    "Dan apabila kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ...".
  • Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a., ia berkata:
    "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya."
  • Hadits Nabi riwayat al-Syafi'i, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda:
    "Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya."
  • Hadits Nabi riwayat Jama'ah, kecuali Muslim dan al-Nasa'i, Nabi s.a.w. bersabda:
    "Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan."
  • Ijma
    Para ulama sepakat membolehkan akad Rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1985, V: 181).
  • Kaidah Fiqih
    Pada dasarnya segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

 1.2.2. Qardh

Qardh adalah akad pinjaman harta kepada orang lain (yang dapat ditagih atau diminta kembali) dengan tanpa mengharapkan imbalan.
Sifat qardh yang tidak memberi keuntungan secara finansial (zero-return) namun didasari niat untuk membantu pihak yang membutuhkan (muqtaridh) sangat dianjurkan dalam Islam. Dengan qardh, peminjam hanya memiliki kewajiban mengembalikan sejumlah pokoknya saja -- meski ia boleh saja memberikan kelebihan secara ikhlas sebagai tanda terima kasih.
Apabila sampai saat pengembalian peminjam tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan pemberi pinjaman telah memastikan ketidakmampuannya, maka pemberi pinjaman dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.
Rukun Qardh :
  • Pihak peminjam (muqtaridh)
  • Pihak pemberi pinjaman (muqridh)
  • Dana (qardh)
  • Ijab qabul (sighat)
Landasan Syariah Qardh
  • Firman Allah SWT QS. al-Baqarah [2]: 282
    "Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis..."
  • Firman Allah SWT QS. al-Ma'idah [5]: 1
    "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…"
  • Firman Allah SWT QS. QS. al-Baqarah [2]: 280
    "Dan jika ia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tangguh sampai ia berkelapangan…"
  • Hadis-hadis Nabi s.a.w., antara lain:
    "Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya" (HR. Muslim).

    "Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…" (HR.Jama'ah).

    "Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya" (HR. Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad).

    "Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya" (HR. Bukhari).

    Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:
    "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
  • Kaidah fiqh
    "Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang, muqridh) adalah riba."

 1.2.3. Hawalah

Hawalah akad pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya. Akad perpindahan utang ini ini dibolehkan berdasarkan sunnah dan ijma. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, maka pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal 'alaih dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal 'alaih.
Berdasarkan ijma, hawalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang. Sebagai misal, Tuan A (muhal atau muhtal) memberi pinjaman kepada Tuan B (muhil) dan pada saat itu B masih memiliki piutang di Tuan C (muhal 'alaih). Tuan C sebagai muhal 'alaih yang dianggap mampu wajib membayar utang Tuan B kepada Tuan A apabila Tuan B mengalihkan utang tersebut kepada Tuan C.
Dalam pelaksanaannya, hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/ muhtal, dan muhal 'alaih dimana pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan akad. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi atau menggunakan cara-cara komunikasi modern dimana kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
Rukun Hawalah :
  • Pihak yang berutang (muhil)
  • Pihak yang berpiutang (muhal)
  • Pihak yang berutang kepada muhil dan akan membayar utang muhil kepada muhal (muhal 'alaih)
  • Utang muhil kepada muhal (muhal bih)
  • Utang muhal 'alaih kepada muhil
  • Ijab qabul (sighat)

LANDASAN SYARIAH HAWALAH
  • Hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
    "Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah" (HR. Bukhari).
  • Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:
    "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
  • Ijma. Para ulama sepakat atas kebolehan akad hawalah.
  • Kaidah fiqh:
    "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

 
2 AKAD TIJARAH
Berbeda dengan akad tabarru' yang semata-mata dilakukan untuk tujuan menolong, akad tijarah adalah akad yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan finansial (profit oriented) dengan tetap berpegang pada prinsip syariah.
Berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperolehnya, akad ini terdiri dari dua kelompok besar yaitu natural certainty contract dan natural uncertainty conttract (Adiwarman A.Karim, 2004). Natural certainty contract (NCC) adalah kontrak atau akad bisnis dimana terdapat kepastian pembayaran baik dalam jumlah maupun waktu. Dalam akad ini terjadi pertukaran aset antara pihak yang bertransaksi yang dapat berupa real asset ('ayn) barang dan jasa atau berupa financial asset (dayn). Akad yang termasuk dalam NCC adalah jual-beli, sewa menyewa dan upah-mengupah.
Natural uncertainty contract (NUC) adalah kontrak atau akad bisnis dimana tidak terdapat kepastian pembayaran baik dalam jumlah maupun waktu. Berbeda dengan NCC yang hanya terjadi pertukaran, pihak-pihak yang terlibat kontrak NUC saling memadukan real asset ('ayn) maupun financial asset (dayn) dimana keuntungan atau kerugian akan dinikmati atau ditanggung bersama. Akad yang termasuk dalam NUC adalah akad bagi hasil seperti musyarakah, mukharabah, musaqah dan muzara'ah. 

2.1 Jual Beli

2.1.1 Salam
Salam adalah pembelian barang yang dilakukan dengan pembayaran di depan namun penyerahan barang tersebut dilakukan di kemudian hari. Transaksi jual beli salam sah apabila objek jual beli diketahui dengan detail jenis, karakteristik, harga, jumlah, tata cara pembayaran dan tempat penyerahan.
Dengan salam, pihak pembeli (al-muslam) akan mendapatkan barang pada saat diperlukan nanti dengan harga yang sudah ditetapkan dan pihak penjual (muslam ilaih) mendapatkan dana di depan yang digunakan untuk mengadakan barang yang dijual.
Salam yang biasa digunakan untuk membiayai produk-produk pertanian ini adalah kebalikan dari murabahah. Pada murabahah, barang diserahkan di depan sedangkan pembayaran dilakukan di kemudian hari. Pada salam, penyerahan barang sebelum atau pada waktunya berarti bahwa :
  • Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
  • Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
  • Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga atau diskon.
  • Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
  • Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan yaitu membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya atau menunggu sampai barang tersedia.
Salam dilakukan dengan sejumlah rukun yaitu adanya pembeli, penjual, modal atau uang, barang dan ucapan. Ketentuan dalam salam tentang modal atau uang adalah bahwa alat pembayaran harus diketahui jumlah dan bentuknya -- baik berupa uang, barang, atau manfaat. Selain itu, pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati dan tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Sedangkan tentang barang, salam mensyaratkan beberapa hal yaitu harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang, harus dapat dijelaskan spesifikasinya, penyerahannya dilakukan kemudian, waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan, pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya dan tidak boleh menukar barang -- kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
Salam = Ijon ?
Dari definisi dan pengertian salam, sepintas terlihat bahwa salam sama dengan ijon. Namun sebenarnya, jelas terdapat perbedaan antara salam dengan ijon. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Harga beli juga sangat bergantung pada keputusan sepihak pihak tengkulak (Muhammad Syafi'I Antonio, 2001).
Salam berbeda karena ada kejelasan pengukuran dan spesifikasi barang. Selain itu, terdapat keridhaan antara penjual dan pembeli terutama dalam kesepakatan harga seperti ditulis dalam an-Nisaa' : 29 "… kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian…"
Landasan Syariah Salam
  • QS. al-Baqarah [2]: 282
    "Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis...".
  • QS. al-Ma'idah [5]: 1
    "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…."
  • Hadis Nabi saw.
    "Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka."
    (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, serta dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
  • Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas, Nabi bersabda:
    "Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui"
    (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari [Beirut: Dar al-Fikr, 1955], jilid 2, h. 36).
  • Hadis Nabi riwayat jama'ah.
    "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…"
  • Hadis Nabi riwayat Nasa'i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
    "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya."
  • Hadis Nabi riwayat Tirmizi.
    "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram" (Tirmizi dari 'Amr bin 'Auf).
  • Ijma.
    Menurut Ibnul Munzir, ulama sepakat (ijma') atas kebolehan jual beli dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat (Wahbah, 4/598).
  • Kaidah fiqh.
    "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

 2.1.2 Murabahah

Murabahah adalah akad jual beli barang antara penjual dan pembeli dimana keduanya bersepakat soal harga perolehan dan keuntungan (marjin). Penjual membeli barang dari pihak lain dan menjualnya kepada pembeli dengan memberitahu harga pembelian dan keuntungan yang ingin diperoleh dari penjualan barang tersebut. Penjual juga dibolehkan meminta jaminan agar pembeli serius dengan barang yang ia pesan.
Sebagai misal, Haji Faiq membutuhkan sebuah mesin cetak dengan harga Rp 10 juta untuk bisnis percetakan. Dikarenakan belum memiliki modal yang cukup, ia kemudian membuat kesepakatan dengan Haji Farhan yang bersedia membelikan mesin tersebut. Atas kesepakatan keduanya, mesin tersebut kemudian dibeli Haji Farhan dari toko lalu dijual kembali kepada Haji Faiq dengan harga Rp 11 juta yang akan dibayar dengan cara mencicil Rp 1 juta sebanyak 11x.
Akad ini mengandalkan keterbukaan dan kejujuran karena penjual harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada pembeli berikut besar keuntungan yang ingin diperoleh penjual. Pembeli juga tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya apabila ia memiliki kemampuan untuk membayar. Namun jika pembeli bangkrut atau telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, maka penjual harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali atau berdasarkan kesepakatan.
Tidak semua barang bisa dilakukan dengan akan murabahah. Selain pembeli dan penjual harus melakukan akad murabahah yang bebas riba, barang yang diperjualbelikan juga tidak diharamkan oleh syariah Islam.
LANDASAN SYARIAH MURABAHAH
  • Firman Allah QS. al-Nisa' [4]: 29
    "Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…".
  • Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275
    "…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…."
  • Firman Allah QS. al-Ma'idah [5]: 1
    "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…."
  • Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 280:
    "Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…"
  • Hadis Nabi SAW.:
    Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
    Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
    "Nabi bersabda, 'Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual." (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
    Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:
    "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram" (HR. Tirmizi dari 'Amr bin 'Auf).
    Hadis Nabi riwayat jama'ah:
    "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…"
    Hadis Nabi riwayat Nasa'i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
    "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya."
    Hadis Nabi riwayat `Abd al-Raziq dari Zaid bin Aslam:
    "Rasulullah SAW. ditanya tentang 'urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya."
  • Ijma' Mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara Murabahah (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz 2, hal. 161).
  • Kaidah fiqh:
    "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

 2.1.3. Istishna'

Istishna' adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni') dan penjual atau pembuat (shani'). Akad jenis ini biasanya digunakan di bidang manufaktur misalnya untuk membiayai pabrik pesawat terbang, konstruksi, instalasi peralatan pabrik dan sebagainya.
Dalam akad ini, alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. Selain itu, pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.
Pada saat penyerahan (yang akan dilakukan di waktu yang akan datang), waktu dan tempatnya harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Apabila terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.
Pada dasarnya, antara istishna' dan murabahah terdapat kesamaan karena sama-sama transaksi jual beli. Bedanya, dalam murabahah barang diserahkan di depan sedangkan dalam istishna' barang diserahkan di belakang. Sedangkan perbedaan mendasar antara istishna' dengan salam adalah istishna' tidak mensyaratkan pembayaran penuh namun cukup pembayaran uang muka.
Dalam akad bai' al-istishna', pembeli bisa memperbolehkan pembuat untuk menggunakan pihak lain atau subkontraktor kontrak tersebut. Dengan begitu, pembuat akan membuat kontrak istishna' kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama yang disebut dengan istishna' paralel.
LANDASAN SYARIAH ISTISHNA'
  • Hadis Nabi riwayat Tirmizi:
    "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram" (HR. Tirmizi dari 'Amr bin 'Auf).
  • Hadis Nabi:
    "Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain" (HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa'id al-Khudri).
  • Kaidah fiqh:
    "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."
  • Menurut mazhab Hanafi, istishna' hukumnya boleh (jawaz) karena hal itu telah dilakukan oleh masyarakat muslim sejak masa awal tanpa ada pihak (ulama) yang mengingkarinya.

 2.2. Sewa

2.2.1 Ijarah
Ijarah adalah akad sewa menyewa dimana terjadi pemindahan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa tanpa disertai dengan pemindahan hak kepemilikan.
Tidak adanya pemindahan hak kepemilikan berarti hanya ada perpindahan hak guna dari pihak yang menyewakan kepada pihak penyewa. Obyek ijarah berupa barang misalnya rumah, gedung, mobil, ruko, dan obyek berupa jasa misalnya konsultan proyek dan tenaga pengajar.
Dalam akad ini, manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak serta harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan). Manfaat harus dikenali secara spesifik untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa. Selain itu, spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas termasuk jangka waktunya.
Kewajiban pemberi manfaat barang atau jasa adalah menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan, menanggung biaya pemeliharaan barang dan menjamin apabila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
Kewajiban penerima manfaat atau penyewa barang atau jasa adalah membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai kontrak dan menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan atau tidak materiil. Apabila barang yang disewa rusak namun bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan atau bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, penyewa tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Rukun Ijarah :
  • Penyewa (musta'jir)
  • Pemberi sewa (mu'ajir)
  • Obyek sewa (ma'jur)
  • Ijab qabul (sighat)
LANDASAN SYARIAH IJARAH
  • Firman Allah QS. al-Zukhruf [43]: 32
    "Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."
  • Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 233
    "…Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
  • Firman Allah QS. al-Qashash [28]: 26
    "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Hai ayahku!
    Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
    sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
    bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat
    dipercaya.'"
  • Hadis riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
    "Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering."
    Hadis riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
    "Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."
    Hadis riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
    "Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak."
    Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:
    "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
  • Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
  • Kaidah fiqh:
    "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."
    "Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan."
  
2.2.2 Ijarah Al-Muntahia bit-Tamlik
"Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. al-Zukhruf [43]: 32)

Ijarah Al-Muntahia bit-Tamlik adalah ijarah yang diakhiri dengan peralihan kepemilikan di akhir masa sewa. Peralihan kepemilikan dapat dilakukan dengan cara menghibahkan dari pemberi sewa kepada penyewa atau dengan cara menjual barang tersebut di akhir periode sewa. 

2.3 Bagi Hasil
2.3.1 Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama dengan skema profit sharing, trust investment atau trust financing antara pemilik modal (sahib al-mal, malik atau rab al-mal) dengan pengusaha (mudharib, 'amil) dimana pemilik modal menyerahkan modalnya untuk dikelola oleh pengusaha. Pengelolaan bisnis sepenuhnya akan dilakukan oleh mudharib dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Meski begitu, tidak ada jaminan atau kepastian bahwa sahib al-mal akan mendapatkan keuntungan.
Apabila terdapat keuntungan, mudharib dan sahib al-mal akan berbagi keuntungan (dalam bentuk prosentase atau nisbah dari keuntungan) sesuai dengan rasio yang sudah disepakati sebelumnya. Namun apabila terjadi kerugian, sahib al-mal akan menanggung kerugian tersebut secara pribadi (kecuali kerugian tersebut diakibatkan oleh kelalaian atau moral hazard yang dilakukan mudharib). Kerugian akan dibebankan terhadap keuntungan yang sudah diperoleh sebelum dibebankan terhadap modal yang dimiliki sahib al-mal. Ini berarti, sahib al-mal tidak akan mengalami kerugian melebihi jumlah modalnya.
Kegiatan usaha yang dilakukan mudharib adalah hak eksklusif mudharib tanpa campur tangan sahib al- mal meski sahib al mal mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. Sahib al-mal juga tidak boleh mempersempit tindakan mudharib yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah yaitu keuntungan.
Jika begitu, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa mudharabah adalah sebuah akad yang adil ketika keuntungan akan dibagi berdua namun kerugian modal ditanggung sepenuhnya oleh sahib al-mal ? Sepintas memang benar bahwa mudharib adalah pihak yang paling diuntungkan. Namun sebenarnya, mudharib juga kehilangan waktu, tenaga dan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan atau bahkan kehilangan kepercayaan manakala bisnis tersebut mengalami kerugian.
Prinsip keadilan inilah yang membedakan mudharabah dengan akad konvensional. Pada akad konvensional, pemilik modal sudah pasti akan mendapatkan keuntungan dari modal yang sudah ia investasikan kendati si penerima modal atau pengusaha mengalami kerugian. Anda tentu pernah melihat seorang pengusaha yang bisnisnya benar-benar bangkrut namun hidupnya terus-menerus dikejar debt collector untuk membayar utang.
Mudharabah yang disebut juga dengan qiradh atau muqaradah adalah akad yang sudah dipraktekkan bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Nabi Muhammad Saw juga pernah melakukan akad mudharabah dengan Khadijah saat berprofesi sebagai pedagang.
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah mutlaqah adalah mudharabah tidak terbatas dimana sahib al mal memberikan kebebasan sepenuhnya kepada mudharib untuk menjalankan usahanya. Sebaliknya dalam mudharabah muqayyadah atau mudharabah terbatas, sahib al mal memberikan persyaratan-persyaratan tertentu kepada mudharib semisal jangka waktu, tempat bisnis, jenis usaha, industri dan sebagainya.
Akad mudharabah mensyaratkan rukun yang harus dipenuhi yaitu pelaku, objek, ijab-qabul dan nisbah keuntungan.
Pelaku dalam akad mudharabah adalah pemilik modal (sahib al-mal) dan pengusaha (mudharib) yang cakap hukum. Keduanya bersepakat untuk melakukan kerjasama dimana sahib al-mal memberikan modal (uang atau barang) dan mudharib memberikan keahlian atau pekerjaan. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat diketahui jumlah dan jenisnya, dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai (jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad) dan tidak dapat berbentuk piutang serta harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), keduanya menyatakan persetujuan atau ijab dan qabul yang dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
Apabila bisnis yang dikelola mudharib menghasilkan keuntungan, mudharib dan sahib al-mal akan berbagi keuntungan sesuai dengan rasio yang sudah disepakati sebelumnya. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal.
Nisbah keuntungan dinyatakan dalam bentuk prosentase yang disepakati sahib al-mal dan mudharib, misalnya 25:75, 50:50 dan sebagainya. Yang pasti, keuntungan tersebut Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
LANDASAN SYARIAH MUDHARABAH
  • Firman Allah QS. al-Nisa' [4]: 29    
    "Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela diantaramu…".
  • Firman Allah QS. al-Ma'idah [5]: 1
    "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…."
  • Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 283
    "…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…".
  • Hadis Nabi riwayat Thabrani:
    "Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya." (HR.Thabrani dari Ibnu Abbas).
    Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
    "Nabi bersabda, 'Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual." (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
    Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari 'Amr bin 'Auf:
    "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
    Hadis Nabi:
    "Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain" (HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa'id al-Khudri).
  • Ijma. Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma' (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa
    Adillatuhu, 1989, 4/838).
  • Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
  • Kaidah fiqh:
    "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

 2.3.2 Musyarakah

Musyarakah adalah kerjasama atau kemitraan dimana dua orang atau lebih bersepakat untuk menggabungkan modal atau kerja dan terlibat dalam pengelolaan usaha tersebut. Modal yang diberikan harus berupa uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Apabila modal berbentuk aset, maka harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra. Modal ini tidak boleh dipinjam, dipinjamkan, disumbangkan atau dihadiahkan kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
Berbeda dengan mudharabah dimana sahib al-mal tidak terlibat dalam pengelolaan usaha, pemodal dalam musyarakah ikut aktif dalam pengelolaan keuangan dan manajerial. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah. Meski begitu, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya -- dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
Setiap keuntungan harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. Namun apabila terjadi adalah kerugian, maka kerugian itu harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
Selain cakap hukum, pihak-pihak yang berkontrak juga harus memperhatikan hal-hal berikut :
  • Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
  • Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
  • Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
  • Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
  • Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
Al-musyarakah terdiri dari dua jenis yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad. Musyarakah pemilikan terjadi akibat kondisi yang membuat satu aset dimiliki oleh dua orang atau lebih seperti warisan atau wasiat. Dengan begitu, mereka akan berbagi aset dan keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Musyarakah akad terjadi akibat adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih dengan memberikan modal dan berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah akad ini terbagi menjadi syirkah a'maal, syirkah al-'inan, syirkah mufawadhah, syirkah wujuh dan syirkah al-mudharabah (sebagian ulama berbeda pendapat bahwa mudharabah termasuk musyarakah).

 
LANDASAN SYARIAH MUSYARAKAH
  • Firman Allah QS. Shad [38]: 24:
    "…Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."
  • Firman Allah QS. al-Ma'idah [5]: 1:
    "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu…."
  • Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata:
    "Allah swt. berfirman: 'Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka." (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).
  • Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:
    "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
  • Taqrir Nabi terhadap kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu.
  • Ijma' Ulama atas keboleh musyarakah.
  • Kaidah fiqh:
"Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

 

"Buku Pintar Investasi Syariah"
Taufik Hidayat, Penerbit MediaKita